Semua Tentang Kpop dan Kdrama

Temukan imainasimu bersamaku dalam setiap karya-karyaku. Semua tentang kpop dan kdrama kan ku bagi bersamamu...


Wellcome To My Blog,, Chingudeul ^^

Cari Blog Ini

.

Kamis, 06 Mei 2010

Hai, ini salah satu tulisanku namun dalam bahasa daerah..

Happy read ajah...



TAK BEGITU KELAM
Rena menghentak dengan keras daun pintu rumahnya. “Brakk!!!”. “Rena...”terdengar bentakan kemudian. Seorang wanita paruh baya melotot dihadapannya. Raut wajahnya tidak menunjukan seseorang yang tengah marah. Wanita itu hanya sedikit kesal sebab suara hentakan pintu itu cukup mengagetkan seorang bayi yang tengah tertidur lelap.

“Maaf Ma.. Sa takut jadi...”Rena tertunduk bersalah. Diliriknya Reno di dalam pangkuan ibunya. Bayi mungil itu hanya bisa menangis karena kaget.
“Takut sama Oom Jack lagi ? Rena.. Rena...” tambah seorang pria yang tengah menyaksikan siaran TV.

“Habis, masa tiap turun angkot, pasti langsung lihat Oom Jack yang nyeremin itu di parkiran ojek. Ieh.. macam Oom itu tidak punya kerjaan lain selain habis-habiskan uang buat beli minuman keras kah..”Rena beralasan. Sebenarnya Rena tidak perlu selalu takut sama orang yang selalu buat Rena tidak berani melewati jalan masuk menuju kediamannya. Karena Oom Jack hanyalah orang-orang yang kurang kerjaan dan tak perlu ditakuti. “Glek..Glek..Glek..”Rena menenuk segelas air dingin dan.. Aah...Lega, batin Rena. Tubuh dan jantungnya yang tadi panas, adem seketika.

“Syuut...!!” Ibu meletakkan telunjuknya di depan bibir, berisyarat. Dengan segera Ayah Rena mengecilkan suara TV. Dan tak ada yang berani mengeluarkan suara. Hening. Bayi mungil bernama Reno itu rupanya dapat membuat orang-orang dewasa bertekuk. Mungkin tidak yah Reno menjinakan Oom Jack, batin Rena. Jinak ?? Geli juga, Emangnya hewan ??. Rena tersenyum sendiri di kamar mungil miliknya.

“Woi... ko mo bikin apa ?? Sa tra mau !! Jang pegang sa, Jang !! Awas e.. ko !! anjing ...!!”tiba-tiba terdengar suara keras dari depan rumah Rena. Hm... mulai lagi dech, batin Rena. Dari suara sudah diduga bahwa itu orang stress yang selalu nongkrong di gapura kompleks rumah Rena.
“Ko jauh, ko jauh..!!”teriak Oom Jack lagi. Pandangannya kosong dan berantakkan pertanda orang yang sedang blenk.
“Bapa.. stop sudah !!”. Rena langsung menuju jendela dan bersiap mencari tahu apa yang terjadi. Ayah dan Ibu Rena demikian, Eits.. bukan keluarga Rena saja, beberapa keluarga di kompleks Rena juga berkumpul di balik jendela, melihat apa yang tengah terjadi.
Suara Oom Jack juga masih terdengar namun tidak jelas apa yang tengah yang diucapkannya sebab Oom Jack menggunakan bahasa daerah. Sebenarnya ini bukan kali pertama Oom Jack mengganggu ketenangan yang tercipta di malam hari. Penghuni kompleks Rotan Kuning sudah biasa dengan teriakan-teriakan Oom Jack. Namun kali ini beda, Ibu dan anak-anak Oom Jack datang memaksa Oom Jack untuk pulang dan menghentikan ulahnya yang selalu membuat gaduh.
Emosi Oom Jack tidak dapat diredam saat melihat perempuan tua dihadapannya. “Eh... Jack,, ko pulang, pulang..”Perempuan tua itu menarik dan memarahi putranya dengan emosi yang meluap-luap. Orang-orang yang tadinya bersembunyi di dalam rumah kini mulai menampakan diri. Orang dalam kendaraan-kendaraan yang tengah lalu-lalang pun memyempatkan diri melihat aksi Oom Jack.
Pandangan Rena kini tertuju pada seorang remaja seumuranya. Maria, batin Rena kaget. Gadis berambut keriting itu menangis sedih. Meski tiap hari melihat ulah Oom jack tang nyebelin namun Rena benar-benar tidak menyangka bahwa Oom Jack memiliki putri yang cerdas dan baik hati.
Suasana diluar rumah Rena sangat gaduh dan ramai. Nampaknya kedatangan keluarga Oom jack malah membuat panas suasana yang sudah panas. Kenapa sih Oom jack selalu membuat panas suasana ?? Api kali yee...^_^
“Ko pergi dari sini..!! Jang ko datang di depan sa pu muka !! ko bukan sa pu mama, ko pembunuh !! Ko pembunuh... !!”Oom jack melampiaskan amarahnya pada Ibunya sendiri. Rena kaget untuk yang kedua kalinya. Orang-orang boleh bilang Oom jack sedang mabok . Tapi bagi Rena, seorang anak tak boleh mengatai orang tuanya atas alasan apapun, kecuali jika Oom Jack... Sadar.!!
* * *
Rena segera turun dari angkot yang ditumpanginya. Langkahnya dipercepat menuju gerbang yang hampir ditutup.
“Pak..Pak..Pak.., tunggu Pak”Rena menahan Pak Satpam yang hendak menutup gerbang.
“Masuk cepat, cepat..”ujar pak satpam yang berambut keriting itu meski Rena sudah jauh darinya. Rena segera meneguk air mineral yang dibawanya. Seperti biasa jika ia lelah dan kaget. Kalau tidak napasnya akan sesak. Maklum penderita penyakit asma.
Seharian Rena tidak bertemu Maria, murid di kelas sebelah. Meskipun sebenarnya buat Rena bertemu anak-anak kelas IPA adalah hal yang menyebalkan, namun rasa penasaran Rena mengalahkan egonya. Hingga sampai di rumahpun Rena belum melihat Maria.
“Mama.. Papa mana ??” Rena celingak-celinguk mencari sosok dambaannya. Pria berumur 37 tahun yang telah membesarkan dan memanjakannya dengan kasih sayang. Ibunya yang sedang menyusui Reno menyuruhnya diam sejenak.
Rena kemudian memperhatikan cara Ibu menenangkan Reno. Sangat lembut dan penuh kasih sayang. Penuh cinta dan harapan pada buah hatinya kelak. Seandainya mama Oom Jack tidak kasar pada Oom jack, mungkin Oom jack tidak akan mengatainya seperti itu, batin Rena. Tapi kenapa Oom Jack mengatai Ibunya sendiri pembunuh ??,batin Rena lagi.
“Papamu lagi ada urusan, jadi sekarang pergi lesnya sendiri saja ya..”Suara Ibu Rena membuyarkan lamunan Rena. Rena melihat ibunya kini merapikan ruang tengah.
“Jangan bilang kamu takut sama Oom Jack lagi ?? Dia sudah pulang sama Ibunya kemarin”Rena kaget dan senang sih mendengar kabar itu. Hati Rena bersorak senang namun Rena merasa makin penasaran dengan Oom Jack.
* * *
Sudah sebulan Oom Jack tidak kelihatan di lingkungan kompleks Rotan Kuning. Rena jadi tenang dan lega saat pulang les. Suara Oom jack yang menakutkan tak lagi di dengar. Rasanya dunia ini sudah aman dan tentram, batin Rena sambil bermain dengan adik tersayangnya.
“Ma.. susu buat Reno mana, Ma ?? Reno minta susu nih..”ujar Rena sambil terus meledek adiknya.
“Ma...”Panggil Rena lagi. “Ayo, kita cari mama..”Rena menggendong adiknya dan beranjak mencari Ibunya yang tak kunjung menyahut.
“Rena....”Ibu Rena masuk dari pintu depan dan langsung menggendong Reno yang sudah tak mau di pangkuan Rena.
“Ada apa Ma ??” Rena menanti gosip baru dari Ibunya. (hehehe^_^).
“Eh.., kamu kenal Maria, Ren. Satu sekolahan dengan kamu. Katanya sih dia dapat beasiswa sebagai murid berprestasi ?”sambung Ibunya. “Ibu kaget banget ternyata Maria Itu anaknya Oom jack, Ren”lanjut ibu Rena seraya menepuk punggung Rena layaknya Ibu-Ibu penggosip.
“Yee.. Sa sudah tau Ma, Cuma belum yakin sih.. Habis, sa sudah tidak pernah lihat Maria lagi”Rena menjawab malas. Rena lebih menunggu berita yang ditunggu-tunggunya.
“Tapi kamu pasti tidak tahu kan kalau nenek Maria tuh dituduh sama Oom Jack sudah membunuh mamanya maria ??” Ibu Rena menatap Rena dengan penuh kemenangan karena Rena tidak mengetahui yang satu ini.
“Hah ?? Ternyata bener dugaanku ma,, Oom jack marah waktu itu pasti ada apa-apanya”
“Neneknya Maria tuh kasihan sekali, hanya karena salah menaruh api, menantunya langsung meninggal dunia. Oom Jack sedih sekali waktu isrtinya meninggal, makanya dia marah sekali sama mamamya. Sudah begitu, Oom jack harus kehilangan satu dari jarinya karena harus mengikuti adat’”ceria Ibu rena.
“Jadi kamu tidak usah takut lagi sama oom Jack, karena dia tuh sebenarnya baek”Sanbung Ayah rena tiba-tiba seraya mengelus rambut putri kesayangannya.
Rena menganguk iya dan tetenguk memikirkan pria yang dulu ditakutinya. Seorang anak manusia yang sangat tidak patut dibanggakan layaknya ayahnya ternyata adalah orang-orang yang kesepian dan terluka. Walaupun tidak seharusnya dia memilih minuman keras sebagai pelampiasan kerinduan dan sakit hatinya. Oom Jack adalah orang yang baik. Dia tidak lagi manakutkan dimata Rena. Rena pun merasa bersalah karena tidak pernah menegurnya. Jauh di lubuk hati Rena, ia tidak mau akan seperti oom jack. Kesepian dan Terluka. Bersyukurlah bagi Rena yang masih memiliki kelengkapan keluarga. Ayah, Ibu dan reno yang mungil.
* * *
“Makasih Pak..”Senyum Rena pada sopir angkot yang membawanya pulang. Rena terlalu senang kerena tak akan bertemu sesuatu yang menakutkan lagi. Tapi, “Glek..”Rena tertegun di samping gapura kompleksnya. Matanya melihat seorang pria paruh baya dengan gaya layaknya orang sedang blenk di dekat warung pinang Tante Maryon.
“Uaw...”Rena berlari menuju rumahnya. Dan, “Brakk!!”hentakan daun pintu Rena kini terdengar lagi. Seorang bocah kecil memperhatikan kedatangannya dengan heran. “Hahaha...”Gelak tawa Ayah Rena menyambut Rena. Rena tersenyum. Jauh di lubuk hatinya, dia sudah tak takut lagi pada Oom Jack. Tapi pada orang-orang yang tengah dalam naungan minuman keras, “Takuuut...!!”.

Sabtu, 01 Mei 2010

FrOm This Moment ^^

Annyeong ??

FF ini tercipta dengan terinspirasi dari FanFacts Hero Jae Joong DBSK yang bunyinya : “Aku tidak memungkiri jika suatu saat nanti aku akan menikah dengan salah satu Fans tetapku”

Cassie Girl : Omo !! Berita bagus nih !!!

Heheu ^^

Begitulah ....

Daftar Yuuukk !!! *antri jadi Cassie tetap*

So, HAPPY READ Chingudeul 

~~~~~~~~~~~~ From This Moment ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Cast :

Kim Jae Joong *Joonggieku nih*

and 4 DBSK ( YuMinYooSu )

Hwang Jae Rim

Kang Seung Ri

and the author is ...

Lee Eun Hye ^^ aka Me 



Part I ::

( Eun Hye’s POV )

Alunan lembut rangkaian kata yang bersatu dalamirama lagu begitu sendu kudengar di telingaku. Batinku tergoyak, hatiku menangis. Sungguh pedih terasa.

Kedua mataku yang tertutup menikmati alunan lagu dengan cepat kubuka. Sentuhan indah alunan lagu tak lagi kurasa. Aku bangkit dari tempat tidurku.

Cekklikkk !!

Alunan lembut lagu tersebut musnah seketika. Sebuah tangan baru saja menekan tombol off pada tape recorder.

“Eun Hye!” panggil Jae Rim.

“Waeyo ?” Aku menoleh menatapnya tenang. Tak ada kemarahan atas ulahnya. Tepatnya terpaksa tak marah.

“Anio. Cepatlah mandi dan ikut aku!” ujarnya seraya berjalan keluar kamarku. Tak lupa dengan tenang Jae Rim mengambil kaset dari dalam tape recorder itu.


* * *

“Eun Hye! Aku akan bertemu Seung Ri sebentar. Tunggulah disini !” ujar Jae Rim. Ia kemudian melenggang masuk menuju rumah Kang Seung Ri, adik Jae Rim.



“Mwo ?? Aku menemani Eun Hye ke Seoul ?” Seung Ri terkejut. Ia meringgis tak mau.

Jae Rim menatap Seung Ri tajam memaksa ia berkata “Ne”. Seung Ri menghela nafas pasrah.

“Aihh! Terserah Unnie lah! Pabo !” ujar Seung Ri kesal.

Sejak kedatangku ke keluarga Hwang, Seung Ri tampak terkejut denganku. Ia juga tampak tak suka denganku. Padahal, aku tak membuat kesulitan apapun padanya. Kami juga tidak seumur. Aku hanya bisa menerima semua keputusan Jae Rim, Unnie angkatku dengan pasrah.

Semenjak meninggalnya kedua orang tuaku, Jae Rim, orang terdekat keluargaku bersedia mengangkatku sebagai adik. Walaupun Jae Rim sangat acuh dan pemarah, aku selalu mendengarkannya. Jae Rim pernah berkata bahwa ia sangat mengerti perasaanku. Sebab ia dan Seung Ri juga mengalami apa yang kualami. Maka, aku percaya sepenuhnya pada Jae Rim.


Jae Rim tersenyum-senyum senang sambil mengemudikan mobil menuju Shopping Center.

“Seperti kataku beberapa bulan yang lalu. Aku akan mengirimmu ke Seoul” ujar Jae Rim sambil melirikku yang duduk tenang disampingnya.

“Ne” jawabku pelan.

“Kau mau kan ??”

“Apa aku terdengar terpaksa menjawabnya?” tanyaku balik. Tatapanku lurus kedepan namun hatiku mendengus kesal.

“Aku selalu mendengarkanmu. Kenapa kau selalu tak percaya padaku ?” jelasku sambil tersenyum pahit.

“Hmm.. Aku menunggumu bertanya kenapa aku mengirimmu ke Seoul” jelas Jae Rim santai. Tanpa marah akan kritikku.

“Kau selalu memberiku yang terbaik” ujarku sambil tertunduk sedih.

“Aku ingin kau melanjutkan sekolah disana. Kau pasti senang bisa bersekolah di Seoul ? Kau bisa mencari Hero-mu itu” Aku melihatnya senang sambil mengingat kembali irama lagu yang selalu kudengar di pagi hari.

“Kau akan tinggal bersama Seung Ri” lanjut Jae Rim disusul tatapan tajamku. Aku terkejut penuh protes namun aku tak dapat berkata apapun.


* * *


( Jae Joong’s POV )

Hari-hariku semakin sulit saja. Aku sudah tak punya uang lagi untuk naik bis ke tempat latihan. Bahkan untuk makan pun sulit untukku.

“Apa aku menambah pekerjaan lagi ? Atau meminjam saja ?” pikirku pusing.

“Tapi, bagaimana dengan sekolahku jika aku menambah pekerjaan ?” pikirku lagi.

Aku benar-benar pusing. Hidup di kota besar memang sulit. Tapi aku harus bertahan.

“Umma.. Aku pasti bisa!! Hwaiting!” batinku semangat di tengah perutku yang berkeroncong di siang hari. Tak sengaja aku menangkap bungkus makanan yang sedang ditenteng seorang ibu yang baru saja lewat dihadapanku. Kutatap lekat buingkus makanan cepat saji itu. Aku menelan ludah dengan memasang mimik ‘mupeng’. Dengan ketekatan bulat, aku segera melancarkan rencanaku.



* * *


“Mana Kim Jae Joong ?!” YuMinYooSu terdiam. Tak ada yang berani menjawab pertanyaan Lee Soo Man. Lelaki yang berdiri tegap dengan muka garangnya lengkap dengan bodyguard diamping.

“Kalian ini adalah calon orang-orang sukses! Dan kalian dididik disini karena kalian harus belajar bertanggung jawab! !” LSM mulai menceramahi keempat kawanku. Aku mengintip dari balik pintu dengan sedih.



“Mianhe chingudeul. Karena aku, kalian harus menerima semprotan Lee Soo Man. Mianhe Yun Ho leader” ujarku sedih dihadapan YuMinYooSu.

“Asal kau bisa kau datang saja, kami tak masalah. Bersabarlah sedikit lagi. Kita akan menjadi bintang yang paling bersinar di langit. Dan itu takkan terwujud tanpamu” ujar Yun Ho tulus.

“Benar! Asalkan kau bisa datang berlatih, kami rela dihukum bersamamu tiap hari” tambah JunSu dengan penuh semangat.

Aku benar-benar terharu mendengar dukungan teman-temanku. Kami saling merangkul sejenak. Kemudian melanjutkan membersihkan ruangan berlatih dengan penuh semangat di malam yang dingin ini.

“HWAITING !!!”

Rasa lelah yang sempat mendera seakan pergi sebab kami saling mendukung.

Tanpa kami sadari, seseorang di atas tribun tersenyum puas. Ia kemudian beranjak pergi dengan memikirkan ide-ide brilliant untuk menjadikan kami bintang paling cerah dibawah naungannya.


* * *


( Eun Hye’s POV )

“Jaga dirimu Eun Hye! Jika aku tidak sibuk, aku akan mengunjungimu. Kau akan aman bersama Seung Ri”

Aku mengangguk seperti biasa.

“Dan kau Seung Ri !! Jaga Eun Hye baik-baik. Aku akan menggorokmu jika tidak”

Seung Ri mengangguk acuh tak acuh. Aku beranjak memeluk Jae Rim untuk terakhir kalinya. Kutatap ia lekat-lekat, takut akan melupakan wajahnya.



( Jae Joong’s POV )

“Great!! Wonderfull, Jae !! Kau banyak perubahan “ puji Yunho begitu kututup latihan bersamanya dengan suara indahku.

Aku tersenyum biasa. Namun, jauh di dalam hatiku aku sangat bangga. Hanya saja tubuhku sangat lelah untuk berlonjak kegirangan.

“Jae juga sudah tidak terlambat! Kau hebat oppa!” seru Changmin dari bawah tangga. Aku mentapnya senang.

Tapi sungguh. Aku benar-benar lelah. Aku harus bangun sepagi mungkin untuk mengantar susu dan koran. Setelah pulang sekolah, aku terus bekerja di sebuah restoran cepat saji. Itu kulakukan agar aku bisa naik bis menuju tempat berlatih. Sehingga aku tidak terlambat dan menyulitkan YuMinYooSu lagi.

Aku pernah hampir menangis ketika pemilik kontrakan mengusirku. Meskipun sudah kumohon agar ia menunggu aku gajian keesokan harinya, namun ia tak peduli. Malamnya, aku terpaksa tidur di depan tempat dimana aku biasa mengambil koran dan susu. Mataku tak kunjung tertutup sebab dinginnya angin malam yang menusuk tulang-tulangku.

Dan, ahh..akhirnya! Aku mengeluarkan linangan air mataku juga. Seraya berharap usaha tak akan sia-sia. Demi, Appa, Umma dan Jae Rim.









Our Dream Of music ~~

Annyeonghaseyo~
Chingu, Huehh, hahhh *tarik napasss*
Akhirnya selesai juga ini FF *terharu*
(kayak habis buat film aja ????)
Setelah sekian lama aku berkutat dengan kata-kata nggak jelas ini *Lamaaa ???*
Hahahahah, akhirnya bisa juga ku ngepost~*jingkarak2 nggak jelas*

Chingu, mungkin aku nggak jago buat FF, tapi demi JeJe and Hyun Joong, aku rela ! Walau hasilnya pasti ancuuur banget~hhehe^^
So~selamat membaca


OUR DREAM OF MUSIC

Matahari bersinar cerah dengan posisi 90 derajat tepat di atas Bumi. Murid-murid SMA Seong Buk masih sibuk dengan kegiatan EksKul mereka di siang hari. Lapangan basket, voli, badminton, tennis, bahkan sepakbola sudah penuh sesak oleh murid-murid yang tak mau menyiakan hari ini untuk mengikuti minat bakat masing-masing. Selain di luar ruangan, kegitan di dalam ruangan pun tak kalah penuh. Mulai dari seni drama, seni lukis, seni tari dan tentu saja seni suara.

Di sebuah ruangan yang cukup riuh oleh suara-suara musik yang bersenandung indah, seorang gadis berponi samping tengah berusaha untuk melihat lebih jelas, apa yang ada di dalam ruangan itu. Ia berusaha berdiri dengan menopangkan tubuhnya pada ujung jari kakinya agar ia bisa melihat dari balik tembok yang cukup tinggi. Sesekali ia duduk untuk mengumpulkan tenaga lagi agar bisa berdiri lebih lama.

Tak jauh dari gadis berwajah oriental itu, seorang lelaki berwajah sedikit bulat dengan kedua mata sendu, berhidung mancung dan berbibir seksi dengan rambut ala haracuku (pirang-pirang gimana gituuu) sedang mengintainya. Sesekali lelaki itu tertawa lebar melihat ulah gadis itu.

Tiba-tiba, pintu ruangan yang sedang di kuntit gadis bernama Nam Ji Hyun itu terbuka. Seorang wanita paruh baya keluar dan berdiri di belakang gadis itu.

“Sedang apa kamu di situ ?”, hardik wanita itu disusul kekagetan gadis itu.

Gadis itu spontan mengelap satu-satunya jendela di tembok besar itu seraya berkata dengan salah tingkah ” Saya sedang.. sedang.. (berpikir sejenak). Saya sedang mengelap tembok. Ya! Mengelap tembok”. Gadis itu tersenyum menyeringai senang menemukan alasan konyol. Wanita yang adalah guru EksKul Bidang seni musik itu menyuruhnya masuk.

Mata Ji Hyun sibuk mengamati seisi ruangan yang dipenuhi alat-alat musik dengan takjub. Ia tak peduli pada puluhan mata yang menatapnya heran. Yang ia rasakan adalah hanya kebahagiaan, karena ia bisa masuk ke ruangan yang terkenal di sekolah sebagai Laboratoroium Seni Musik, sejak ia bersekolah di sini dua bulan yang lalu.

“Ini adalah Laboratorium seni musik dan suara. Saya yakin kamu tahu hal itu, tapi.. untuk apa kamu selalu mengintip dari balik tembok itu ? Bukankah kau bisa mengetuk pintu dan masuk ?”, selidik Bu Eun Hye, wanita itu, yang berkacamata tebal dengan rambut terurai rapi.

Siswa-siswi yang tadi asyik menunjukan bakat bermain musiknya kini sudah berkumpul di belakang Ji Hyun. Mereka menanti jawaban gadis berpipi chuby ini. Ji Hyun mengaruk-garuk kepalanya seraya berpikir keras. Ia tak mungkin mengatakan bahwa ia ingin ikut EksKul ini ataupun ia berkata bahwa ia sangat menyukai musik karena jika ia mengatakannya maka akan ada seseorang yang datang membunuhnya. Hiy... Sereemm!”, batin Ji Hyun sambil membayangkan kakaknya, Kim Hyun Joong, datang dan menyeretnya keluar dari gedung dengan menarik rambut ekor kudanya.

“Saya.. Saya... Saya dipanggil Bu Tara. Permisi”, ujarnya spontan sambil menunduk dan segera berlari dari ruangan itu.

“Nam Ji Hyuuuuuuuuuunnnnnnnnnnnnnn !!!!!!!!!!!!”, teriak wanita itu jengkel karena selalu ia kabur sebelum menjawab. Nam Ji Hyun berlari sampai di ruangan paling atas dari gedung seni. Ia masuk dengan terengah-engah menahan napasnya.
“Dasar Bodoh ! Seharusnya kau tak usah mengintip terus ! Apa kau akan terus begini selamanya ? Menyimpan semua keinginanmu dalam hati ? Kau akan akan mati karena itu?”, hardik seseorang yang sejak tadi memperhatikan Ji Hyun. Ia berdiri di sandaran meja kelas kosong itu. Matanya menatap jengkel pada Ji Hyun.

“Apa ? Kau bilang aku bodoh ? Apa kau tak tahu, aku juga akan mati jika menuruti kata-katamu ! Aku hanya tak ingin membuat Kakakku sedih. Dia pasti akan marah besar kalau dia tahu aku masuk kelas itu”, balas Ji Hyun pada Kim Jae Joong yang sok menasehatinya.

“Apa kau juga tidak melihat dirimu ? Kau itu sama denganku ? Kau tak punya keberanian untuk berkata jujur. Sok jual mahal. Padahal itu adalah impianmu ! Hah ! kau juga tak bisa kan berkata secara langsung pada YunHo bahwa kau ingin bergabung bersama mereka ?? Iya kan ?”, balas Ji Hyun dengan mata sinis yang membuat Jae Joong kaget dan sedikit dongkol.

Jae Joong merasa sedikit dongkol karena sindiran Ji Hyun. Ia kemudian pergi meninggalkan Ji Hyun dengan memukul meja. Ji Hyun mengolok-oloknya dari belakang. Dasar anak sok! Dia pikir dia siapa ? Beraninya menasehati aku ?”, batin Ji Hyun senang. Walaupun ia sadar bahwa kata-kata Jae Joong benar. Ia sulit mengikutinya. Ia tahu, ia tak mungkin terus begini selamanya. Ini adalah pelangaran HAM untuknya dari Ayah dan Kakaknya. Dan ia harus menentang kakaknya agar diizinkan bermain musik. Ia tak mau mati tanpa mewujudkan mimpinya itu dulu.

“Tunggu !”, ujar Ji Hyun kemudian. “Aku bisa masuk kelas itu tanpa di ketahui Hyun Joong oppa. Ia sudah yakin bahwa aku tak akan menyentuh alat musik. Dan sekarang ia pasti sibuk dengan dunia Mc-nya. Aku bisa melakukan itu, bukankah dia tidak akan tahu jika aku minta pada Bu Eun Hye untuk tidak memasukkan namaku secara resmi pada daftar peserta EksKul seni musik. Iya! Aku bisa melakukannya”, pikir Ji Hyun senang. Ia tertawa lebar sambil memain-mainkan ujung rambutnya dan memikirkan cara selanjutnya.

Keesokkan harinya Ji Hyun sudah ada sejak pagi di depan rumah Jae Joong yang tak berada jauh dari rumahnya. Hanya berbeda sekitar satu rumah dari rumah Ji Hyun, rumah Jae Joong berdiri dengan megahnya. Jae Joong keluar ke halaman dan melihat Ji Hyun dengan mata sebelah. Ia bahkan tak menegur Ji Hyun yang sejak tadi menunggnya. Jae Joong berjalan lebih dahulu tanpa memperdulikan Ji Hyun yang kesal di kacangin. Ji hyun berlari dan berdiri di depan Jae Joong sambil memainkan kedua tangannya di atas kepalanya, seperti anak kecil yang sedang bercanda dengan temannya. Ji Hyun sedang berusaha membuat Jae Joong tertawa. Jae Joong berhenti sebentar dan menatap Ji Hyun dengan sinis. Ia kemudian mendorong muka Ji Hyun dengan telapak tangannya agar Ji Hyun menyingkir dari hadapannya.

“Hei ! Kauu !”, bentak Ji Hyun marah. Tapi Jae Joong terus berjalan tanpa memperdulikan Ji Hyun.

“Arrggghhhh”, Ji Hyun menahan amarahnya tapi tiba-tiba ia berseru “ Kim Jae jooooonggggg ! Lelaki so cool yang tidurnya ngorooookkk!”. Glek!! Seketika semua mata yang baru memasuki halaman sekolah melihat ke arah Jae Joong dengan berbisik-bisik. Ji Hyun menutup mulutnya kaget. Ia tak sengaja mengucapkannya. Jae joong pun menghetikan langkahnya sejenak. Wajahnya memerah mendengar teriakan Ji Hyun. Ia berbalik dan berniat mengejar Ji Hyun. Tapi ji Hyun sudah tak ada di tempatnya. Jae Joong menahan rasa malunya sambil mengangkat kedua tangannya dan di gerakan ke kiri ke kanan seraya berkata” Tidakk.. Itu bukan aku.. Bukan aku...” pada siswi-siswi yang berbisik membicarakannya. “Ihh, cakep-cakep ngorok!” Gubraaakkkk !!

Di sebuah ruangan kosong di gedung seni, Ji Hyun terduduk pasrah di atas sebuah bangku yang berdebu.

“Haahhh !!”, Ji Hyun menghela napas panjang. “Kenapa aku membuatnya marah. Dia juga sih, so cool. Padahal aku ingin meminta bantuannya. Tapi dia malah berlaku seperti itu”, gerutu Ji Hyun sambil mengaruk-garuk kepalanya.

Kini ia menggigit jarinya sambil memikirkan cara agar Bu Eun Hye mau mengikuti cara mainnya.

“Ia tak mungkin meminta begitu saja pada Bu Eun Hye. Ia kan miss paling banyak tanya dan banyak aturan”, pikir Ji Hyun ngeri membayangkan jika Bu Eun Hye menolaknya dan berkata pada kakaknya, Kim Hyun Joong, tentang rencana liciknya.

“Ohhh. Aku tak tahu lagi harus bagaimana agar aku bisa seperti Ibu. Aku ingin bermain musik. Mengolah vokal. Bernyayi di depan orang banyak. Dapat penghargaan. Dan bisa duet dengan Kim Jae Joong!”, ujar Ji Hyun mengutarakan mimpinya pada dirinya sendiri.
“Huh! Kenapa juga dia mesti marah-marah. Dasar cowo so cool! So berani! Hagghh!”, ujar Ji Hyun menumpahkan kekesalannya. Tangannya berkali-kali di pukulkan pada meja tampatnya bertumpu.

“Lalu kau ? Kau wanita seperti apa ? Suka bicara sendiri, suka ngambek, suka usil, dan suka membuatku jengkel”, tiba-tiba dari arah belakang Jae Joong berkata membalas hujatan Ji Hyun. Ji Hyun kaget melihat Jae Joong yang sudah ada di belakangnya.

“Maafkan aku ! Aku tadi hanya.. hanya...”, ujar Ji hyun merasa bersalah. Ia menunduk meminta maaf pada Jae Joong. Sahabatnya. Sahabat yang selalu bersedia mengelap air mata Ji hyun, menjadi buku diari Ji hyun, bahkan mungkin bisa menjadi tambatan hatinya.

“Ahh, sudahlah. Hari ini kau sudah membuatku malu. Sebagai hukumannya. Aku ingin kau mengambilkan gitar di kelasku dan kita akan bernyanyi bersama. Seperti keinginanmu tadi”, ujar Jae Joong sambil mengerak-gerakkan matanya menggoda Ji hyun.

Dengan penonton langit, awan dan bangku-bangku kelas paling atas di gedung seni SMA Seong Buk, Ji Hyun mengeluarkan suara indahnya diiringi petikan gitar Jae Joong. Sesekali Jae Joong turut menyumbangkan suara.

Jeje ang Ji Hyun : In my heart in soul neyege sarangiran, Ajik osaeghajiman uh uh baby... ! Isesang modun gor noyege jugoshipo ggumesorado..... Uhhmmm....
Ji Hyun : Nae maumi iron goya jigyo boisuman issodo,
JeJe : Nomu gamsahae haengboghae na jogumun bujoghoedo,
Jeje Ji Hyun : Onjeggaji noui gyothe yoniuro igo shipo, Norur ne pume gadug anun chae gudoboryossomyon shipo Yongwanhi.....

Suara duet Ji Hyun dan Jae Joong menggema di langit hari ini.

Ji hyun bertepuk tangan senang bisa bernyanyi hari ini. Walaupun hanya mereka berdua, tapi dalam mata Ji hyun, ribuan orang menanti kehadirannya di belantika musik. Ia tertawa sendiri menghayalkan semua mimpinya. Semuanya buyar ketika Jae Joong mendorong kepalanya ke depan agar ia berhenti mengkhayal.

“Haha! Gamsahamnida ..”, ujar ji Hyun sambil melambaikan tangannya dan menunduk-nundukan kepalanya pada orang-orang yang ada dalam khayalannya. Ia kemudian menatap Jae Joong sambil tersenyum senang. Tapi Jae Joong malah menatapnya iba.

“Kau tak perlu menatapku seperti itu. Sebaiknya kau segera membantuku”, ujar Ji Hyun sambil menaik-naikkan alis matanya.

Jae Joong memicingkan matanya tak mengeti. Ji Hyun kemudian menyuruhnya mendekatkan telinganya, ia pun membisikkan idenya sambil menahan debaran di hatinya. Jae Joong mengangguk mengerti. Ia tersenyum dan beranjak meninggalkan Ji Hyun.

Sepeninggalan Jae Joong, Ji hyun menahan rasa berdebarnya. “Diamlah, ku mohon! Jangan membuatku terlihat bodoh di depannya dengan debaranmu ini”, batin Ji hyun seraya memegang dadanya.

Sementara di tangga, Jae Joong juga memegang dadanya, sambil membayangkan saat Ji hyun membisikkan idenya tadi. “Diamlah, jangan buat aku terlihat bodoh di depannya dengan debaran anehmu ini”, batin Jae Joong.

Jae Joong kini berada di ruangan Bu Eun Hye. Bu Eun Hye sedang sibuk mengisi nilai anak-anak didiknya, jadi ia mengizinkan Jae Joong untuk menunggunya. Setelah selesai, Jae Joong disuruh menghadapnya.

“Ada apa ? Kau sudah memutuskan untuk bergabung dengan DongBangShinKi setelah kau lulus ?”, tanya bu Eun Hye memulai pertayaannya.

“Aku datang bukan untuk membicarakan masalah itu.”, ujar Jae Joong pelan. Bu Eun Hye mengernyitakan dahinya tak mngerti.

“Aku pikir kau sudah memikirkan tawaran Yunho dkk. Tapi kurasa belum. Lalu, apa urusanmu?”, tanya bu Eun Hye sambil melipatkan kedua tangannya di hadapan Jae Joong.

“Masukkan Ji Hyun di EksKul seni musik, ibu! Tapi, tanpa memasukkan namanya dalam daftar”, ujar spontan Jae Joong.

“Apaaa ? Kau datang untuk ini ? Kau gila, Nak. Tidak ada satu pun anak di sekolah ini yang namanya dikosongkan dari daftar sementara ia mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Apa yang akan kukatakan pada Kepala Yayasan. Ini nepotisme namanya. Ini hal bodoh”, ujar Bu Eun Hye sambil mengeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan yang diucapkan anaknya. “Apalagi sebentar lagi ulang tahun sekolah. Tentu kau dan teman-temanmu di sini akan maju untuk pentas. Lalu dia ? Aku akan menempatkannya di bawah panggung dan saat Kepala Yayasan tahu apa yang akan aku katakan ? Lalu apa yang aku katakan juga pada Kim Hyun Joong. Hah ? Ia dan Kepala Yayasan, Ayahnya, akan marah padaku dan pekerjaanku bisa terancam begitupun denganmu Nak. Ibu tidak bisa melakukan itu. Mustahil !”, jelas Bu Eun Hye mantap.

“Aku tahu ini tidak mudah, Bu. Tapi aku tak tega pada ji hyun yang harus mengubur bakatnya dalam-dalam hanya karena kematian ibunya dulu. Ibu harus membantunya. Ibu sayang kan padaku ? Jika Ibu sayang padaku, lakukanlah Bu. Aku mohon”, ujar Jae Joong tulus. Eun Hye melihat keltulusan di wajah anaknya ini, tapi ia harus berpikir panjang akan masalah ini.

“Kalian tak tahu apa-apa, jadi ibu tak bisa. Ibu tak mungkin membohongi Park Yun Jae dan Kim Hyun Joong. Dan Ji Hyun tak mungkin mengikuti jejak ibunya. Dia tidak boleh. Itu sangat menyakitkan jika aku membantu kalian. Carilah orang lain. Maaf Nak”, jelas Bu Eun Hye lagi. Terlihat kesedihan di wajahnya. Ia menatap Jae Joong dengan sedih karena tak bisa membantu Ji Hyun.

Matanya tiba-tiba basah mengingat kejadian masa lalu. Masa lalu yang membuat seorang wanita berbakat harus merenggut kematian karena bakatnya itu. Sebuah senar gitar yang biasanya menjadi alat musik pengiring suaranya di panggung, malah menjadi penyebab kematiannya. Senar gitar itu menjerat lehernya ketika ia sedang berada di ruang ganti selepas konser 16 tahun yang lalu. Senar gitar itu masih dipenuhi darah segar wanita berbakat itu ketika suaminya, Park Yun Jae, beserta anak lelakinya, Kim Hyun Joong, dan anak kecil berusia 1,5 tahun, Nam Ji Hyun, masuk untuk memberikan selamat.

“Oppa! Kenapa Ibu tidur terus ? Kapan aku bisa bertemu Ibu ?”, tanya gadis kecil itu ketika Ibunya disemayamkan di rumah.

“Ibu sedang tidur di depan karena Ibu lelah. Jadi, jika Ibu sudah tak lelah baru kau bisa bertemu dengannya. Ayo kita kembali ke kamar saja!”, jelas Hyun Joong seraya memboyong Ji Hyun dari ruang depan.

Kejadian memilukan ini terjadi di sekolah yang dipimpin Ayah Ji Hyun. Dan wanita malang itu adalah Go Hyun Jung, Ibu Ji Hyun.


Jae Joong berjalan dengan malas di koridor kelasnya. Seseorang tampak berlari ke arahnya dengan wajah sumringah. Begitu melihat wajah masam Jae Joong, mimik Ji hyun pun berubah. Ia tahu apa yang telah terjadi. Jae Joong menatapnya.

“Mungkin bukan saat ini kau harus menunjukan bakatmu itu. Sabarlah. Pasti ada waktunya ayah dan kakakmu mengizinkanmu untuk meneruskan jejak ibumu. Aku dan Ibu tak bisa membantu saat ini. Maafkan aku, Ji Hyun”, ujar Jae Joong sedih. Ia jadi tak tega melihat air mata yang tiba-tiba tumpah dari kedua mata Ji hyun. Ji Hyun mengelapnya perlahan sambil berusaha tersenyum.

“Tapi aku akan selalu ada kapanpun kau membutuhkanku. Jadi jangan tahan tangismu itu. Menagislah jika itu perlu”, ujar Jae Joong dengan penuh perhatian. Wajah Ji hyun memerah karena itu

“Terimahkasih. Aku tahu siapa yang harus aku temui”, ujar Ji hyun kemudian beranjak meninggalkan Jae Joong.

Ia berlari pulang ke rumah. Di rumah sudah ada ayah dan kakaknya. Ayah sedang sibuk membaca koran sementara Hyun Joong sibuk bermain internet. Dengan wajah marah dan penuh kekesalan yang selama ini ditahannya, Ji hyun beranjak menuju ayah dan kakaknya di ruang tengah.

“Aku sudah tidak tahan, Yah”, ujar ji hyun tiba-tiba. Ayah dan kakaknya masih sibuk dengan kegiatannya tadi seolah tak peduli.

“Ayah, Oppa !! Dengarkan aku!”, ujar Ji hyun lagi. Ayah kemudian melipat korannya dan menatap Ji hyun lembut. Layaknya tatapan ayah pada anaknya.

“Kenapa Ayah selalu melarangku untuk bermain musik, kenapa ? Apa karena ibu meninggal sebab ia berbakat dalam musik. Hah ? Atau karena ayah ingin aku mati seperti ibu karena menahan gejolakku untuk bermain musik. Iya kan yah ?”

“Ji hyun. Jaga mulutmu. Dia itu Ayah kita. Dan kita menyayangimu. Jadi tidak mungkin kami ingin agar kau mati. Kau benar-benar gila’, ujar Hyun joong dengan suara keras karena kaget akan ucapan Ji Hyun.

“Iya ! Aku gila. Aku memang gila. Tapi itu karena Ayah dan kakak yang mengekang kebebasanku. Kakak tahu, aku tersiksa jika melihat teman-temanku yang bebas melakukan apapun yang mereka suka. Sedang aku ? Aku menuruti kata-kata kakak dan menjauhi musik. Sesuatu yang berarti untukku. Asal kakak tahu, aku ingin seperti ibu. Walaupun harus mati, tapi ibu membuatku bangga akan beliau. Aku mencintai ibu seperti aku mencintai musik, Kak ! Aku mohon, izinkan aku kak!”, jelas ji hyun sambil menangis sedih. Hyun Joong marah mendengar kata-kata Ji hyun yang menentang keputusan ayah.

“Dasar bodoh ! Apa kau tidak tahu, Ibu kita itu dibunuh ! Itu semua karena Musik ! Musik yang mengambil Ibu dari kita. Jadi kau tidak boleh mencintai musik !”, Ji hyun kaget mendengar kata-kata Hyun joong sebab selama ini tak ada yang memberitahukannya tentang penyebab kematian ibunya.

“Cukup !”, teriak Ayah kesal. Ia berdiri dan menjelaskan pada Ji hyun dengan cara yang tenang. “Ji Hyun, ayah tak bisa menuruti keinginanmu itu. Ayah takut kau bernasib sama dengan ibumu karena bakatmu itu. Ayah tahu kau sangat mencintai musik. Kau sama dengan ibu. Berbakat. Tapi, cukup ayah kehilangan ibu. Ayah tak mau kehilangan kau lagi. Mengertilah, Nak”, jelas ayah sambil membelai rambut Ji hyun.

“Tapi, Yah! Aku ingin seperti ibu. Kalau Ibu mati terbunuh apa aku harus mati terbunuh juga, Yah ? Apa pembunuh ibu itu akan datang dan membunuhku lagi yah ? Tidak kan ? Aku mohon, izinkan aku yah”, pinta Ji hyun memelas.

Ayah melihatnya dengan penuh rasa iba. Dimata Ji hyun terlihat keyakinan yang kuat untuk itu. Dengan pertimbangan yang matang selama seminggu. Hati ayahnya pun melunak perlahan.

“Hhh... Baiklah. Ayah tak tega melihatmu seperti ini. Ibu juga pasti akan memarahi ayah jika ayah terus bersikukuh. Ayah akan mengizinkanmu, tapi hanya sampai ulang tahun sekolah. Setelah itu, berjanjilah pada ayah kau akan mengikuti kehendak ayah”, Ji Hyun tersenyum senang. Ia mulai mengelap air matanya. Sebuah pelukan pun diberikan untuk ayahnya. Hyun Joong melihat dengan heran. Ia kemudian pergi mencari seseorang.

Di sebuah lorong kecil menuju gedung seni. Hyun Joong mendapati Jae Joong yang sedang termenung. Tanpa basa-basi lagi Hyun joong langsung menghajar Jae Joong hingga babak-belur. “Bakk.. Bukkk.. Bakkk buukkk”

“Aaaww... “, Jae Joong merintih kesakitan. Ia mencoba melawan tapi ia kalah kuat dengan Hyun joong. Jae Joong tersungkur tak berdaya di ujung lorong.

“Ini untuk kamu yang membuat adikku semakin mencintai musik dan menentang ayahku. Aku salut padamu”, ujar Hyun Joong sambil menendangnya kesal. Ia menumpahkan perasaan kesalnya pada Jae Joong. Tapi ia juga salut akan usaha Jae Joong menjaga adiknya untuk tetap mencintai musik. Hyun joong kemudian membantu Jae Joong berdiri dan menjelaskan alasannya memukul Jae Joong. Jae Joong tertawa seraya menahan sakit karena badannya sudah di hajar oleh Hyun joong.

“Jaga adikku baik-baik. Jika sampai terjadi apa-apa padanya di ulang tahun sekolah. Kau yang duluan aku cari!”, ujar Hyun Joong sambil merangkul Jae Joong. Mereka pun kini menjadi akrab.

Setelah kejadian itu. Ji Hyun giat sekali mengikuti ekskul. Dari ekskul musik sendiri akan menyumbang sebuah drama musikal untuk memeriahkan ulang tahun sekolah. Setiap hari ia selalu tidak absen latihan. Ia ingin memanfaatkan waktu yang diberi ayahnya.

Sementara Jae Joong pun tak kalah sibuk. Ia harus menjaga Ji Hyun dan harus terus hadir latihan band di studio DBSK. Ia tak ingin mengecewakan ibunya yang ingin agar anaknya masuk dalam grup ternama itu.

Hari bahagia itupun tiba. Walaupun setelah hari ini, Ji Hyun harus meninggalkan semua kegemarannya ini. Tapi ia harus bersyukur karena masih bisa tampil di hari yang indah ini. Dengan mengenakan blus cantik berwarna biru cerah yang tampak anggun dan serasi dengan warna kulitnya yang putih seputih susu. Malam itu, ia tampil sebagai penyanyi untuk pertama kalinya di hadapan semua orang. Ia masih berpikir ini mimpi. Karena selama ini ia hanya bisa bermimpi untuk bisa bernyanyi dihadapan penonton yang sebenarnya.

Acara berlangsung meriah. Saat acara hendak berakhir, Jae Joong menarik Ji Hyun menjauh dari keramaian.

“Makasih untuk semuanya ya, Jae Joong. Kau sudah membuatku bisa merasakan mimpi-mipmiku. Semuanya menjadi kenyataan malam ini”, ujar Ji Hyun senang. Jae Joong tersenyum

“Makasih juga. Karena tekat kamu, aku jadi bisa deket terus sama kamu”, ujar Jae Joong malu-malu. Ji Hyun tak mengerti. Ia mencoba berpikir panjang. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu yang mengalun lembut “Will You Be My Girlfriend”~DBSK. Jae Joong tersenyum lagi. Senyumannya membuat Ji Hyun mengerti maksud Jae Joong. That’s LOVE 

Mulai saat itu, mereka terus bersama-sama. Jae Joong sibuk dengan dunia musiknya bersama DBSK. Sementara Ji Hyun sibuk dengan dunianya di bidang sastra seperti keinginan ayahnya.

Tidak selamanya kita harus kita bisa mencapai apa yang kita inginkan. Tapi tekad yang kuat bisa melemahkan anggapan itu. Teruslah bermimpi, maka Tuhan kan memeluk mimpi-mipi itu~hhehe *kata-kata siapa nih ? ?*

~SELESAI~

~Hhihi^^
senangnya jadi Nam Ji Hyun dongsaeng *???*
Oh ya, chingu, aku mau ngasih pesan dan kesan nie *gag ada yang minta deh kayaknya*
Hahhh, first, aku waktu nulis adegan HJ mukul JJ itu nggak rela banget,, wajah imut JJ harus babak belur, tapi aku senang karena HJ yang mukul *???*
*Kaaaabbbuuuurrr !!! Sebelum di keroyok cassie*

Finally, Chingu, di tunggu ya commentnya
~hhihi^^




I'll Be There ~~

Annyeong ???

Chingudeul dimanapun berada, this is one FF about Jae Joong. Terinspirasi dari salah satu lagu DBSK bertajuk I’ll Be There. But, mian iia ~~

sepertinya judul ama ceritanya rada gag nyambung ^^

So, Happy Read ~ Chingudeul...


Cast ::
• Han Hye Soe
• Kim Jae Joong
• Choi Min Hwa
• Lee Soe Min
• Kim Jeong Hyun



==================== *I’LL BE THERE* ========================

Oleh ; Accie ^^




[ Part I ] ::


HUJAN di sore ini membuat Seoul bertambah dingin. Namun tak sedingin hatiku. Hatiku jauh lebih dingin dari cuaca hari ini. Mataku masih menatap ke luar jendela kamarku. Melewati sebuah pohon rindang yang tak sedikitpun memeleh pamandangan mataku pada sebuah jendela kamar yang masih tetap tertutup rapat. Pemandangan yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

Sudah lebih kurang tujuh bulan, jendela itu di tinggalkan penghuninya. Dan sudah tujuh bulan pula, aku masih selalu berdiri di balik jendelaku. Air mataku memang selalu tak kuat untuk tetap bertengger di ujung kelopak kedua mataku. Aku menjatuhkan kembali air mata kerinduan yang begitu memuncak. Hatiku getir menginggat semua kenangan bersamannya. Walaupun aku tahu ia pasti akan kembali. Namun, keyakinan itu tak sepenuhnya ku yakini. Sesuatu seperti berkata tak seperti itu.

“Hye Soe !!” teriak Umma dari bawah yang sekaligus membuyarkan lamunanku. Aku segera berlari menuruni tangga. Umma memanggilku lagi, sehingga aku terpaksa menuruni dua anak tangga sekaligus.

“Kau ini ! Apa yang kau kerjakan di atas sana ?? Apa aku harus memanggilmu sebanyak dua kali. Hah ??” omel Umma. Aku mengutuk diriku sendiri. Seharusnya aku menuruni empat anak tangga sekaligus tadi, gumamku dalam hati.

“Ada telepom dari Appamu itu ?” Aku beranjak menuju pesawat telepon yang tak jauh dari meja kasir Toko Serba Ada umma.

“Ne, Appa ! Annyeong haseyo hamnida ?”

“Baik, anakku ! Apa Ummamu memarahimu lagi ?”

“Tidak Appa. Umma memberitahuku saja”

“Benar ?”

“Ne” ujarku meyakinkan.

“Apa malam nanti kau bisa minta izin ? Appa ingin mengajakmu makan malam”

“Nanti malam ??” tanyaku dengan suara agak keras. Umma menoleh ke arahku.

“Jangan lama-lama berbicara! Masih ada yang harus dikerjakan !!” teriak Umma agak keras. Aku tersenyum pahit.

“Sepertinya tidak bisa yaa ??” Appa terdengar kecewa.

“Gwenchanha appa. Aku bisa kok” ujarku pelan.

Aku menutup gagang telepon dan tersenyum merayu pada Umma yang sedang menghitung uang hari ini.

“Umma. Aku rindu Appa” ucapku memelas. Umma masih sibuk. Berpura-pura tak mendengar.

“Hemmm” Aku tersenyum senang begitu melihat Umma meletakkan sepuluh ribu won di atas meja.

“Gomawo, Umma” ucapku senang. Ciuman sayangku mendarat di pipi kiri Umma. Aku segera naik ke kamar meninggalkan Umma yang tersenyum simpul.

Tak lupa kututup kain gorden jendelaku dengan penuh semangat. Aku ingin bertemu Appa. Appa adalah Ayah terbaik bagiku.

* * *

( Flash Back )

Kakiku sudah pegal menunggu di halaman sekolah. Kuputuskan untuk duduk di atas rumput taman. Sebelumnya, aku celingak celinguk melihat suasana sekolah. Berharap tak ada satpam yang mengusirku dari rumput-rumput taman.

“Jagi...” seseorang berteriak memanggilku. Aku menoleh seraya tersenyum senang tapi sedikit kesal.

“Mianhe membuatmu menunggu” ucap Jae Joong. Ia mengambil tempat disampingku. Wajahnya cerah sumringah. Aku dapat menebak. Perlahan aku juga terlihat senang.

“Wae ? Kenapa kau tersenyum seperti itu ?” pancingku.

“Coba tebak !”

“Uhm... Kau habis diberi hadiah Bu Yeon Hi” ucapku asal.

“Owh... hampir tepat !”

“Uhm... Dapat Nilai bagus ?”

“Sedikit lagi!”

“Uhmmmmmmmmm” aku berpikir agak lama. Jae Joong menunggu tak sabar.

“Ahh! Aku tak tahu” ucapku pura-pura menyerah.

“Haa. Kau Ini ! Aku berhasil dapatkan beasiswa itu “ cerita Jae Joong dengan bangga. Tak lupa ia memukul kepalaku dengan tangannya.

“Wahhh!! Selamat, Jagi...” ucapku senang sambil merapikan rambutku yang berantakan. Kami tertawa terbahak-bahak. Senang dan bahagia. Namun, perlahan kebahagiaan seperti surut dalam hatiku. Sesuatu yang membuatku takut. Aku takut berpisah jauh darinya.

“Jagi... Eropa itu jauh yaa ?” Jae Joong memperhatikan perubahan wajahku.

“Hmmm, Ne. Sepertinya”

“Kapan kau akan berangkat ?”

“Aku belum tahu. Bu Yeon Hi menyuruhku mengurus beberapa surat dulu.” Aku diam membisu. Pandanganku tertuju pada sepasang burung yiang bertengger di pintu masuk taman sekolah. Mereka amat bahagia. Sesekali mereka berkicau ria.

“Jagi... Waeyo ?? Apa kau ingin ikut bersamaku ?” aku tersentak mendengar ucapan Jae Joong. Baru saja aku ingin menjwab “Ne”, sesuatu seperti menahan bicaraku.

“Haahh.. Itu tak mungkin. Umma menyuruhku tetap disampingnya!” ujarku lesu.

( Flash Back Break )

Aku tiba di Restoran tepat pukul tujuh. Mataku sibuk mencari dimana appa duduk. Tapi tak ku temukan. Seseorang dari belakangkupun mengejutkanku.

“Hye Soe ??” Aku berbalik.

“Appa...!” Aku memeluk Appa saking rindunya. Kami pun memesan makanan. Mataku tak berhenti menatap wanita yang bersama Appa. Aku sedikit kesal sebab Appa tak memberitahuku tadi di telepon.

“Hye Soe. Bagaimana kuliahmu?” tanya Appa.

“Baik. Ehm... Appa siapa dia ?” tanyaku takut-takut. Appa menatap Wanita itu sambil tersenyum.






[ Part II ] ::

“Mianhae Hye Soe. Hmm..Ayah telah siap mengakhiri masa duda ayah” Aku kaget mendengar ucapan Ayah. Mataku melotot selebar buah matoa.

Di rumah.

Umma sedang membersihkan toko yang hendak di tutup. Tapi langkahnya terlihat lemah. Kurang bersemangat. Ia terus menunduk. Rupanya, bulir-bulir air mata tengah membasahi matanya. Ia mengingat kembali saat mantan suaminya menelepon.





“Min Hwa. Aku mohon. Kau boleh meleset tujuh bulan. Tapi sesuai perjanjian. Akulah yang berhak merawatnya setelah dia lulus.”

“Enak saja. Aku yang sudah merawatnya dari kecil. Lalu kau ? Apa yang kau lakukan selama ini ?”

“Min Hwa, dia adalah hakku. Aku mohon. Lagipula, apa kau tidak terlihat egois ?” Umma bingung.

“Apa maksudmu ?”

“Hyeon Joong!” Umma tercekat mendengar nama itu.

“Kau gila ! Apa kau lupa, kita sudah menelantarakannya.”

“Bukan kita. Tapi kau ! Sudah kukatakan dulu. Kau akan menyesal” bentak Appa dari balik telepon.

“Terserah. Hye Soe tetap bersamaku!” tekan Umma. Ia menutup gagang telepon itu.






Kini umma tersudut di sudut. Ia terduduk lesu. Matanya seperti kehilangan cahaya. Walaupun ia bersikeras mempertahankan Hye Soe, tapi cepat atau lambat semua akan pergi darinya.

Suara ketukan pintu mengagetkan Umma. Dengan sedikit takut, Umma melangkah menuju gagang pintu. Seorang wanita tua berdiri disana. Umma benar-benar hampir mati melihat wanita itu.

“Umma...!” ucap Umma lirih. Wanita itu tersenyum simpul.



( Flash Back Again )

Aku berdiri di balik jendela kamarku. Tanganku sibuk membuat anyaman untuk boneka yang baru ku beli. Perlahan terukir namaku dan Jae Joong di dalam bentuk hati yang di pegang boneka itu.

Di jendela seberang, Jae Joong sedang mempersiapkan keberangkatannya. Satu ticket menuju Paris telah berada di saku jaketnya. Ia menghela napas. Matanya basah melihat foto kami di dalam kopernya.

“Aku pasti kembali untukmu” gumam Jae Joong. Aku menoleh sebentar ke arah jendela Jae Joong. Kami saling bertatapan.

Di Bandara.

“Jagi, mana Abeojimu ? Sudah sejam kita menunggu” ujarku tak sabar bertemu Abeoji Jae Joong. Jae Joong masih memegang kotak berisi boneka yang ku berikan padanya.

“Entahlah! Mungkin dia tak bisa kemari. Cukup jauh bandara dari rumahnya” jelas Jae Joong. Ia kemudian meletakkan kotak yang tadi dipeganggya. Kemudian mengambil sesuatu dari balik sakunya.

Sebuah kalung liontin berbentuk kunci. Ia maju perlahan dan mulai melingkarkan kalung itu keleherku.

“Percayalah Jagi. Hanya kau yang dapat membuka dan menutup hatiku” bisik Jae Joong.

Aku tak sanggup menahan keharuan di hatiku. Tangan lembutnya perlahan menghapus air mataku. Aku sedikit malu sebab ini di tempat umum. Aku mengusir tangannya dan mengelap air mataku sendiri.

Suara pemberitahuan bahwa pesawat akan segera berangkat membuatku semakin sakit.

“Jagi. Aku akan memperkenalkanmu pada Abeojiku setelah aku kembali nanti. Percayalah aku pasti kembali” Aku mengangguk mengerti sebab aku sudah tak sanggup berkata-kata.

“Jaga dirimu yaa. Annyeongi Kaseyo...” ucap Jae Joong sambil melambaikan tangannya.

( Flash Back End)



Aku senang Abeoji datang mengunjungi kami. Walaupun sikapnya sangat dingin, aku mencoba akrab dengannya. Ia selalu menatap sinis padaku. Tapi aku tak pernah merasa bersalah sebab aku merasa aku tak bersalah.

Minggu pagi, aku mendapatkan telepon dari Paris.

“Hallo ? Jagi.. itukah kau ?” tanyaku tak percaya.

“Jagi-ya.. Ini aku. Apa kabar ?”

“Ahh.. Jagi. Aku merindukanmu “ ucapku. sedikit malu. Jae Joong tertawa bahagia.

“Aku berhasil dapatkan libur”

“Benarkah ??” tanyaku tak percaya. Aku hampir melompat kegirangan. Tapi kuurungkan sebab Abeoji sedang memperhatikanku.

“Lusa, aku pasti berada di Korea. Tunggu aku Jagi”

“Ne, pasti “ jawabku bahagia.

* * *


Hari ini adalah hari yang membahagiakan ku. Appa akan menikah dengan wanita itu. Dan hari ini Jae Joong akan datang. Aku harap aku dan dia dapat menjadi pemdamping sang pengantin.

Namun, Umma terlihat tak bahagia. Ia mengurung diri di kamar. Abeoji menyuruhku untuk cepat ke bandara dan menjemput Jae Joong.

Tetapi, sesuatu seperti sedang menari-menari di balik senyum Abeoji. Aku tak mengerti. Bukankah seharusnya ia menyuruhku menjaga Umma

Aku melangkahkan kakiku menuju kamar Umma. Perlahan, pintu kamar Umma ku buka.

“Umma. Aku pergi. Setelah menjemputnya, aku pasti kembali ke rumah dulu” ujarku menyakinkan. Aku yakin, Umma pasti sakit menerima kenyataan pernikahan Appa. Tapi, aku ataupun Umma tak dapat memaksakan hati seseorang. Hanya Tuhan yang bisa menggerakkan hati seseorang.

Umma tak menjawab. Tubuhnya tetap menghadap ke arah tembok. Saat aku hendak menutup kembali pintu, mataku menatap sebuah surat di atas sebuah lemari kecil. Tangan kananku dengan gesit meraihnya dan memasukkannya ke dalam tas ku.

Di tengah perjalanan menuju bandara, tanganku tak henti memegang kalung perberian Jae Joong. Aku harus yakin akan cinta kita berdua. Yakin bahwa kita pasti menyusul Appa dan istri barunya.

“Jagi.. aku mencintaimu..” gumanku dalam hati.

Begitu aku tiba di bandara Seoul, sudah banyak penumpang yang keluar dari pintu kedatangan Internasional.

“Hhh.. aku pasti terlambat” ucapku sambil celingak celinguk mencari Jae Joong. Aku menyesali kesalahanku yang terlalu lama berdandan di rumah sambil.





[ Part III ~ END ] ::

Seorang lelaki dengan kacamata hitam menutup wajahnya berjalan ke arahku. Aku tak kenal siapa dia. Namun, ketika senyumnya merekah, hatiku seperti langsung menerbangkan kakiku menuju dia.

“Jae Joong-ah” ucapku seraya memeluknya erat. Air mataku jatuh menuntaskan kerinduan yang ku pendam.

“Jagi... aku datang” bisiknya. Hatiku berdebar hebat kala itu. Rasanya aku tak ingin melepas pelukannya. Begitu indah bisa bersamanya lagi.


* * *


Umma menyadari sesuatu hilang dari kamarnya. Ia berteriak kepada Abeoji. Sesuatu seperti membuatnya amat marah.

“Umma! Apa kau ingin aku hancur, hah ? Apa kau ingin semua tahu masalah ini hah ? Aku percaya padamu untuk melepas rindu pada cucumu. Tapi bukan seperti ini caranya. Aku pasti memberitahukan semua padanya. Tapi bukan sekarang, Umma!” bentak Umma. Mukanya memerah karena marah dan kalut.

Abeoji tak mengerti maksud Umma. Ia membalas meneriaki Umma.

“Apa maksudmu ? Beraninya kau meneriaki Umma-mu ?”

“Mana surat kelahiran Hyeon Joong ?” Abeoji mengerti sekarang. Dia malah terduduk lesu. Ia yakin, akulah yang mengambilnya.

“Dimana Umma ?” Abeoji menggeleng tak tahu.

“Kau pasti bohong ! Sejak dulu kau selalu menghantuiku dengan surat itu! Sekarang, pun kau datang untuk itu kan ?”

Umma beranjak menuju kamar Abeoji dan mengubrak abrik kamar Umma. Umma sudah seperti kesetanan. Ia jadi begitu sangat kasar.

Dari jalan aku menelpon Umma. Tapi, Abeoji yang mengangkatnya.

“Hye Soe, Appa menelepon tadi. Ia memintamu datang ke geraja sekarang” ujar Abeoji berbohong. Aku sempat menolak sebab aku sudah janji pada Umma. Tapi, Abeoji mendesakku.

Abeoji naik menuju kamarnya.

“Percuma. Aku tak sejahat yang kau pikirkan!” Umma menoleh dengan mata sembab dan liar.

“Lalu ? Untuk apa kau kembali ?”

“Aku sudah bilang, aku rindu pada Hye Soe “ Umma terduduk lemas. Ia lelah. Dan menyesal.

“Dimana anakku Umma ? Hyeon Joong ?” tanya Umma lirih.

“Aku sudah bilang padamu dulu. Anakmu tak akan jauh darimu” Umma tak mengerti. Ia menatap Abeoji dengan penuh keheranan.

“Mianhae Min Hwa anakku. Aku telah membuat kesalahan”



* * *


Aku menarik Jae Joong memasuki gereja. Aku tersenyum-senyum padanya. Ia seperti mengerti maksudku. Kami berhenti di pintu gereja.

“Jika aku melamarmu saat ini juga, apa kau mau menikah denganku disini ?” aku tersipu mendengar perkataan Jae Joong.

“Hahh!! Sudahlah! Aku baru mau jika kau menetap di Seoul!” jawabku sambil menariknya masuk.

Kami mengambil tempat di depan. Tepat di samping Appa dan calon Istrinya.


* * *


Kami kembali ke kediaman Appa sore hari. Aku mengucapkan selamat pada Appa. Tapi Appa malah menanyakan sesuatu yang mengagetkanku.

“Apa kau siap pindah bersama appa, Hye Soe ?” aku bingung.

“Hheh.. Huft. Appa, Umma menungguku di rumah. Dia sedang sakit” Appa seperti kecewa mendengar jawabanku.

“Umma pasti mengerti”

“Ne, untuk beberapa hari” Appa terlihat sedih kembali.

“Aku harus pulang, Umma pasti menungguku” pamitku pada Appa.


* * *


Jae Joong mengajakku kembali ke gereja, tapi ia menyuruhku menunggu di luar dulu. Aku yakin, dia pasti ingin mengerjaiku. Rupanya, sudah lama ia tak membuatku malu.

Aku menunggunya di bawah pohon di taman dekat gereja. Aku berniat membuka surat di atas meja Umma. Aku khawatir ini adalah Surat Utang Umma pada negara. Sebab Umma tidak memiliki surat keterangan tanah di Korea.

Tapi, tebakanku meleset. Aku tercekat membaca isi surat itu. Sebuah surat keterangan lahir seorang anak atas nama Choi Min Hwa dan Lee Soe Min ??
Sejenak aku tak bisa berkedip membaca nama dan tanggal lahir di dalam Surat itu.

Aku tak percaya dengan semua ini. Air mataku menetes membasahi surat itu.

“Ini tidak mungkin!!” ucarku sedih.

“Kenapa ?? Kenapa seperti ini ? Aku sudah terlalu mencintainya!” batinku.

Aku berlari meninggalkan taman menuju rumah. Jae Joong heran melihatku pergi. Ia melepaskan sebuah topi dari bunga dan berlari mengejarku.


* * *

Aku masuk sambil menangis menuju kamar Umma. Abeoji melihat kedatanganku. Ia terduduk lesu di kursi. Ia telah mengerti. Aku menemukan Umma di kamar. Umma menangis sedih. Umma kaget melihatku datang,

“Umma!! Apa yang terjadi ini ? Aku tak mengerti kenapa aku bisa mencintai kakakku sendiri ??” cecarku.

“Hye Soe, maafkan Umma. Mian Hye Soe. Umma terlalu bodoh waktu itu” Umma berdiri menenangkanku.

“Tapi kenapa ? Kenapa Umma tak bilang kalau dia kakakku ??”

“Umma.. Umma... Umma tidak tahu dia adalah kakakmu” Umma bingung hendak berkata apa. Aku kaget dengan jawaban Umma.

“Semua adalah salah Abeoji” Tiba-tiba Abeoji datang dan membuatku semakin bingung. Abeoji menceritakan semua kejadian masa lalu yang menjebakku dalam kisah cinta terlarang. Semua perjanjian antara Umma, Appa dan Abeoji. Namun, Abeoji tak sepenuhnya salah. Keangkuhan Umma untuk mengakui anak di luar nikah begitu membuat Umma tega menelantarkannya.

Aku terpukul mendengar semua cerita itu. Aku berlari keluar karena tak sanggup mendengar lagi. Sudah cukup aku tersakiti di hari yang seharusnya aku bahagia.

Aku berlari melewati Jae Joong yang sejak tadi berada di bawah tangga. Aku tak sanggup melihatnya. Ku rasa, ia pun demikian. Sepintas mata Jae Joong juga sembab. Ya Tuhan. Ini benar-benar sulit. Baru saja aku membayangkan kebahagiaan bila hidup bersamanaya. Tetapi, berita ini malah datang di waktu yang tak tepat. Aku benar-benar sakit karenanya.


* * *

Appa meneleponku pagi ini. Ia akan menjemputku seusai makan siang. Aku berkata pada Umma tentang telepon Appa. Umma tersenyum terpaksa. Kami sudah baikan. Aku memutuskan untuk menyerah. Apalagi Jae Joong akan kembali ke Paris. Aku tak mungkin meneruskan ini lagi.

“Berkemaslah” kata Umma seperti biasa. Aku masih menatapnya. Rasanya tak sanggup meninggalkan Umma dengan toko sebesar ini. Umma akan sulit mendapatkan bantuanku lagi.

“Apa yang kau tunggu ? Berkemaslah !!” ujar Umma lagi. Baru beberapa langkah aku melangkah Umma berujar lagi.

“Tak usah khawatirkan Umma. Uri Oppa akan membantu Umma sebelum ia pergi” aku tersenyum sedikit lega.

Aku bergegas menuju kamar. Langkahku ku hentikan melewati kamar baru yang di siapkan Umma untuk Oppa baruku. Aku masuk dan menatap kamar baru itu. Aku meletakkan sebuah benda di atas tempat tidur.


“Sekarang, bukan aku lagi yang berhak membuka dan menutup hatimu” ujarku pelan. Tanpa sepengatahuanku, Umma berdiri menahan haru di balik tembok.

Namun, Setidaknya aku harus bersyukur sebab Jae Joong Oppa mau menerima dan memaafkan kekhilafan Umma.

Aku merapihkan semua barang-barang yang akan kubawa. Hanya sedikit saja yang ku bawa karena aku berjanji pada Umma untuk mengunjungi jika libur sekolah.


Terakhir, aku memandang ke arah jendela. Seorang lelaki dengan mata sayu mencoba tegar untuk memberikan senyuman padaku. Aku tersenyum pahit. Aku mencoba menahan airmataku agar tak membuat kami semakin sakit. Perlahan, ku coba menarik kain gorden berwarna coklat muda itu hingga memeleh pandangan kami.

“Selamat Tinggal... Jagi..” ucap Aku dan dia dalam hati.



~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~THE END~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~



Huaaa??? Hiks Hiks * nangis sendirian*

Mian yaa, Chingu, kalo kurang nyentuh N rada nggak nyambung *first project sih buat FF berchapter ^^*

Yang suka dan gag suka di tunggu kritikannya....

^____^

Accie*

_Another Love ^^

:: Another Love ::

Genre : Romantic
Oleh : _Accie_


^Happy Read aja deh, chingudeul. . .^


Cast :

Kim Jae Joong as Me
Jung Yun Ho
Park Yoo Na
Park Ji Hye




“Aku menunggumu di Jakarta, Indonesia, Minggu depan. Miss Yuu.. Jagi-ya ^,^” Yun Ho tersenyum membaca surat elektronik dari seseorang. Rona wajahnya langsung memerah. Aku mencoba mendekat dan melihat siapa pengirim surat itu, namun Yun Ho dengan sigap menutup jendela surat elektronik yang biasa disebut e-mail. Yang sempat kulihat hanyalah nama dengan huruf depan “Park”.

“Hey! Apa kau sedang mencoba untuk berselingkuh, hah ?” selidikku sambil menepuk bahu kiri Yun Ho. Yun Ho hanya tersenyum tanpa rasa bersalah.

“Adikmu mengirimiku puisi yang indah” ujar Yun Ho dengan wajah berseri-seri.

Aku mencoba mengingat nama adikku, PARK Ji Hye.

“Hmm.. dia tentu sangat merindukanmu!” ujarku berkesimpulan. Sebuah tepukan kecil dibahu memberinya semangat.


* * *

“Jae Joong-ah!” aku berbalik ke arah Yun Ho yang mengejarku.

“Ji Hye mengizinkanku mengunjungi sepupuku di Indonesia. Asalkan kau ikut katanya. Apa kau mau ?” Aku berpikir sejenak sambil melihat wajah Yun Ho yang memohon.

“Ne, adikku akan senang jika kau diawasi. Hahaha “ Yun Ho tertawa senang. Ia begitu bahagia dapat mengunjungi sepupunya itu. Sebab, sangat sulit meminta izin pada Ji Hye. Apalagi Ji Hye sangat mencintai Yun Ho. Berlibur sendiri pasti sangat menyedihkan. Namun, kesibukan Ji Hye di London membuatnya berubah pikiran.

“Aku akan pulang musim panas. Kita akan bertemu di musim panas kan ?” Yun Ho tersenyum dan mengangguk mantap pada Ji Hye.



* * *



Aku berdiri menunggu Yoo Na di Hall Soekarno-Hatta airport. Sudah cukup lama aku disitu, sekitar sejam mungkin. Macet di pagi hari membuat Yoo Na telat menjemputku. Apalagi jarak apartmennya yang jauh dari bandara.

“Jae Joong-ah ?” Yoo Na terlihat kaget melihatku. Ia mencoba tersenyum sambil mencari-cari sesuatu.

“Jagi-ya ? Kau tidak senang aku datang ?” tanyaku heran.

“Ohh. Hahh...Tentu ! I Miss You Jagi-ya . Wellcome back to Jakarta” ujar Yoo Na sambil memelukku.

“Apa Yun Ho bersamamu ?” Aku sedikit aneh dengan pertanyaan ini.

“Anio. Dia akan menyusul setelah Ji Hye kembali ke London” Yoo Na menjadi murung mendengar itu.

“Ji Hye ? Hhh.. aku ingin bertemu dengannya” Yoo Na mencoba tersenyum kembali. Namun, aku bisa melihat ia mencoba menyembunyikan kekecewaannya.



Yoo Na mengajakku ke pantai Ancol dan menikmati suasana sore di sana. Sudah tujuh bulan sejak kunjungan pertamaku ke Indonesia, Yoo Na menjadi kekasihku. Dia wanita yang sangat baik dan cantik. Suaranya lembut dan ia juga cerdas. Aku menyukainya sejak saat itu.

Dan tak kusangkka, Yoo Na membalas cintaku. Hanya saja, aku merasa perasaan Yoo Na sedikit lain padaku. Apalagi sejak aku kembali ke Korea. Kami jarang berkomunikasi, namun di ponsel Yun Ho sangat banyak pesan dari Yoo Na. Aku maklum karena mereka adalah sepupu.

Mungkin juga ini adalah akibat berpacaran jarak jauh, sehingga hatiku merasa sangat jauh dengannya. Hatiku seolah sangat asing dengannya. Entah karena apa.

Setiap aku menatapnya, tak ada sinar kebahagiaan disana saat melihatku. Dan lagi, ia selalu menolak menatapku seolah ada sesuatu yang tersembunyi darinya. Hingga aku kemudian berpikir, apa ia benar-benar menyukaiku ?

“Jae Joong-ah ? Kenapa kau melamun terus ?” Yoo Na membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh menatapnya, namun lagi-lagi ia menghindari tatapanku. Ingin sekali aku bertanya padanya. Tetapi, aku takut itu akan menyakitinya.


“Aku ingin mendengar cerita tentang Korea ?” ujar Yoo Na bersemangat.

“Hhhh...” Yoo Na menghela napas panjang.

“Aku ingin sekali kesana. Dan berjalan-jalan menikamati indahnya Sungai Han” lanjutnya ceria. Matanya jauh menerawang ke langit. Ia sedang membayangkan sesuatu.


Gbr Sungai Han (dari Jembatan Yanghwa )

Aku terkejut mendengar itu.

“Sungai Han ?” pikirku. Ingatanku kembali saat Yun Ho dan aku mengungjungi kakekku di daerah Gyeongji dan berjalan-jalan menikamati aliran Sungai Han yang mengalir sepanajang semenanjung Korea.

“Suatu hari nanti, aku akan melamar wanita yang aku cintai di tepi Sungai ini” Harap Yun Ho.

“Ji Hye pasti senang dengan suasana romantis di Sungai ini” ujarku. Yun Ho hanya tersenyum sambil menatap riakan air Sungai Han.



Sungai Han ( dari Jembatan DongHo )

“Ne, Yun Ho sering menceritakan ini padaku” jawab Yoo Na.

“Hmm... Apa perlu aku ceritakan lagi ?” Yoo Na meringgis mendengar perkataanku. Aku melihatnya dengan sedikit kesal.




* * *



Minggu sore aku dan Yoo Na menjemput Yun Ho di Bandara. Yoo Na sangat senang mendengar kedatangan Yun Ho. Ia bahkan sudah mengajakku ke bandara sejak siang. Padahal, pesawat Yun Ho baru akan tiba pukul tujuh sore.

“Aku sudah tak sabar bertemu Yun Ho, Jae Joong” Aku mencoba tersenyum menyembunyikan keherananku.


“Jagiiiii-yaaa” Aku terkejut mendengar teriakan Yoo Na. Yoo Na menoleh ke arahku dengan salah tingkah.

“Ehh, Jagii-ya. Itu kau. Iya. Untukmu” Yoo Na mencoba menenangkanku dengan menggenggam erat tanganku. Namun di lepaskan lagi begitu Yun Ho mendekat. Aku mencoba menahan diri.

“Annyeong. Jae-Yoo couple” sapa Yun Ho. Yoo Na sedikit murung mendengar sapaan itu.

“Annyeong! Yun Ho. Aku pikir kau akan sulit berpisah dengan Ji Hye” godaku. Yun Ho tertawa lebar.

“Yun Hooo! Bagaimana kabarmu ? Ohh, kenaapa lama sekali kau tak mengunjungiku?” tanya Yoo Na sambil terus menatap Yun Ho.

“Baik, Yoo Na. Aku harus menyelesaikan beberapa masalah dulu. Terutama dengan Ji Hye” Yun Ho menjawab sambil membalas tatapan Yun Ho. Benar-benar pemandangan yang aneh untukku.



* * *


Aku merasa asing diantara mereka berdua. Hari-hari berliburku kulewati bersama mereka berdua. Namun kenapa seolah aku hanyalah pengganggu keceriaan Yoo Na dan Yun Ho. Mereka sangat akrab. Yoo Na selalu tertawa lebar dan bahagia. Sesuatu yang jarang kulihat ketika aku bersamanya. Mereka bahkan tidak terlihat seperti sepupu. Ada apa ini ?




Minggu berikutnya kami mengunjungi Monumen Nasional untuk berfoto bersama. Aku akan segera kembali ke Korea. Umma tidak rela berpisah lama denganku. Kami berfoto bersama dan melewatkan hari terakhirku dengan penuh tawa.


“Jagiii” panggilku sayang pada Yoo Na. Yun Ho melirik ke arah Yoo Na.

“Hmmm..” Yoo Na menoleh ke arahku.

“Aku akan merindukanmu!”

“Ne, aku juga! Kapan kau akan kembali lagi ?”

“Entahlah” Aku menunggu reaksi Yoo Na. Yoo Na hanya menunduk. Entah menangis atau tersenyum senang.

“Sejujurnya, Aku ingin mengajakmu menemui Umma-ku” Yoo Na terkejut mendengar pertanyaanku. Yun Ho pun tersedak.

“Uhuk.. Uhuk..” Yun Ho meminum minumannya untuk melegakan tenggorokannya.

“Ada apa ?? Apa kau tidak ingin ?” tanyaku heran.

“Ahh.. Tidak! Tidak... Aku ingin sekali. Tapi tidak sekarang kan ? Ini terlalu mendadak” Aku tertawa lega.

“Hahaha.. tentu saja. Aku akan menjemputmu jika kau sudah siap” Yoo Na dan Yun Ho saling berpandangan.


* * *


“Jagii. Ingat Janjiku ya ? Aku pasti menjemputmu” ujarku sambil mencoba menatap Yoo Na. Yoo Na mencoba menghindar lagi.

“Yoo Na-ah. Kenapa kau tak pernah mau menatapku ?” tanyaku pelan. Yoo Na tertunduk takut.

“Apa mataku jelek ?’ Aku mencoba bercanda. Tapi sesungguhnya aku ingin ia menjawab serius.

“Hahahah... Itu Yun Ho datang!” ujar Yoo Na.

“Jae Joong-ah! Sebentar lagi. Salam untuk Umma dan Appa. Aku akan kembali musim dingin nanti”

“Ne, aku pergi yaa” pamitku.

“Annyeongki Kaseyo..” ujar Yoo Na dan Yun Ho. Aku melambaikan tangan salam perpisahan.

Aku berjalan menuju pintu keberangkatan. Aku tersenyum pahit. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh Yoo Na. Sebulan cukup untuk melihat semua kelakuan Yoo Na. Bahkan, nomor handphone Yoo Na yang ternyata ada dua membuatku semakin yakin.

Aku berbalik untuk melihat Yoo Na untuk terakhir kalinya. Namun, betapa kagetnya aku bahwa ternyata Yoo Na dan Yun Ho sudah tidak ada di ruang tunggu.

“Apa secepat itu Yoo Na pergi ? Aku bahkan belum masuk ke pesawat” pikirku. Aku berbalik dan mencari taxi. Aku menyuruh supir taxi cepat menuju Jakarta Barat. Aku benar-benar penasaran dengan semua yang menurutku disembunyikan oleh Yoo Na.

“Berhenti Pak!” Ujarku begitu sampai di depan apartmen Yoo Na. Aku langsung beranjak menuju apartmen Yoo Na. Aneh. Tak ada jawaban begitu kutekan bel.

Aku bingung kemana mereka pergi. Aku terduduk lesu sambil memikirkan Yoo Na. Aku ingin meneleponnya, namun segera kuurungkan.

“Mianhe” aku terkejut mendengar sapaan seseoarang dari arah samping.

“Aku Yoo Su, kakak Yoo Na. Apa kau Yun Ho ?” Aku menggeleng perlahan. Aku heran. Yoo Na bilang ia tak punya kakak. Dan mengapa Yoo Su tak mengenal Yun Ho. Bukankah mereka sepupu ?

“Ohh. Lalu, sedang apa kau di pintu apartmen adikku ?”

“Aku mencari Yoo Na. Aku Jae Joong” Yoo Su heran mendengar namaku. Seperti sangat asing baginya.


Yoo Su mengajakku ke taman samping apartmen Yoo Na.

“Kau dari Korea ? “

“Ne, aku sahabat Yun Ho”

“Ooohh!” Yoo Su mengangguk pelan.

“Mereka sungguh jahat meninggalkanmu di luar aparment sendirian” Aku terdiam memikirkan sesuatu.

“Eonni. Apa Yoo Na sudah punya kekasih ?” Yoo Su tertawa perlahan.

“Bagaimana kau ini. Katanya sahabat Yun Ho. Masa kau tidak tahu siapa kekasih Yun Ho ?”

“Maksudnya ?? Aku.. Aku kurang mengerti ?! “tanyaku terkejut. Tapi tiba-tiba seseorang datang dari belakang.

“Eonni!” aku berbalik ke arah suara itu. Dan betapa kagetnya Yoo Na melihatku duduk bersama kakaknya.

“Jae Joong ? Kau tidak jadi pulang ?” Yoo Na terkejut setengah mati. Apalagi aku melihatnya sangat erat memeluk tangan Yun Ho.

“Hhhh.. Hah ?“ Aku melihat mereka berdua dengan perasaan marah. Seperti aku telah mengerti semuanya.

“Yun Ho! Teganya kau meninggalkan sahabatmu hanya untuk pergi berkencan” goda Yoo Su.

Aku melihat ke mereka berdua. Tanpa sadar, tanganku sudah hinggap di pipi Yun Ho. Sebuah pukulan kemarahan ku arahkan padanya. Yun Ho tak membalas sedikitpun. Ia membiarkan aku menghajarnya habis-habisan.

Yoo Na mencoba merelaiku. Namun tanganku dengan kasar menyingkirkannya. Aku benar-benar marah dengan kebohongan mereka. Yoo Na tergeletak jatuh di sisi Yoo Su yang tak mengerti dengan apa yang terjadi.

“Dengar Kim Jae Joong! Aku tak pernah mencintaimu! Aku tak sungguh-sungguh menjadi pacarmu! Aku hanya mencintai Yun Ho! Apa kau dengar itu ? ! ? !” teriak Yoo Na. Ia menangis sambil mengatakan hal itu. Aku berhenti memukul Yun Ho. Dan menoleh ke arahnya. Ia melihatku dengan ketakutan.

“Aku melakukan ini untuk adikku! Kau dengar itu, Park Yoo Na! Kau, telah merebut kekasih adikku. Dan kau! Adalah perempuan Jalang!” aku berteriak di telinga Yoo Na. Yoo Na masih ketakutan.

“Dengar! Kau boleh membohongiku. Tapi kau! Aku tak akan membiarkan adikku tersakiti karena kau, Park Yoo Na! Kau sungguh tak pantas untuk Yun Ho, bahkan untukku!” caciku pada Yoo Na yang menangis di sisi Yoo Su



Aku mengerti sekarang. Betapa Yoo Na sangat senang dengan kedatangan Yun Ho. Mengapa Yoo Na tak berani menatapku. Dan mengapa aku merasa asing diantara keduanya.


* * *

“Jae Joong-ah! Mianhe. Aku tak bermaksud menyakitimu seperti ini. Hanya saja...” Aku mendengarkan Yun Ho dengan acuh tak acuh sambil menghabiskan sebotol anggur. Yun Ho melihatku sedih.

“Hahaha.. Sepupu katamu ? Kau pandai sekali berbohong, Yun Ho! Kau sangat bajingan! Kau tega menduakan adikku!” aku berteriak-teriak padanya.

“Mianhe. Aku sangat mencintai Yoo Na. Tapi aku tak tega meninggalkan Ji Hye” Aku beranjak menarik kerah baju Yun Ho.

“Kau! Kau takut padaku kan ? Makanya kau tak berani meninggalkan adikku, kan ?” Yun Ho mengangguk.

“Mianhe. Aku benar-benar tak tahu berterima kasih padamu dan keluargamu. Mianhamnida, Jae Joong-ah!” Aku melepaskan kerah baju Yun Ho dan kembali meminum anggur.

“Pergilah! Pergi sana! Aku akan kembali ke Korea. Dan aku tak akan mengizinkan kau bertemu dengan Ji Hye! Jadi enyahlah dari hadapanku!!!” Aku mengusir Yun Ho dengan menendangnya. Yun Ho menunduk meminta maaf dan berjalan keluar. Ia berjalan sambil menahan sakit akibat pukulanku.


* * *

Aku mencoba melupakan semua tentang Indonesia. Aku mencoba menyakinkan Ji Hye bahwa Yun Ho tak pantas untuknya. Namun, ia malah memarahiku. Dan mengancam tak akan pulang ke Korea jika Yun Ho tak datang padanya. Aku melihat adikku dengan iba. Iba pada nasib cinta kami.



Sore itu, aku berjalan-jalan di pantai Gyongju. Sudah lama aku tak mengunjungi bibiku yang tinggal disana. Dari rumah bibi yang menghadap ke pantai. Aku melihat seorang wanita yang berjalan sendirian di pantai. Sangat cantik dan mempesona. Aku berdebar hebat melihatnya. Hatiku melambung tinggi. Maka ku coba mendekatinya. Namun, begitu mendekat. Hatiku langsung membeku kembali. Dia adalah Park Yoo Na!

:: SELESAI ::

N/T : Ceritanya maaf ya. Sepertinya rada gaje! Heeheee^^

Yaa, semua terserah chingudeul menanggapinya. Di tunggu ea komennya.

_ACCIE_